Kompas Online


Rabu, 2 Juli 1997

1997 Tahun El Nino?

Oleh Dwi Susanto

MUNGKIN kata El Nino merupakan kata yang paling terkenal di kalangan para ahli cuaca maupun kelautan. Hal ini karena dampaknya yang luas mempengaruhi sistim cuaca dan sirkulasi laut di seluruh dunia. El Nino yang paling besar terjadi tahun 1982-1983 dan 1986-1987 di mana Indonesia, India, Australia, Afrika mengalami kemarau panjang, sementara Amerika dan Eropa dilanda banjir besar.

Karena hal itu, maka untuk mengetahui lebih jelas penyebab kejadian ini, pemerintah Amerika Serikat - bekerja sama dengan Perancis - telah melun-curkan satelit Topex/Peseidon altimeter untuk mengukur perubahan ketinggian permukaan laut. Satelit ini mulai beroperasi sejak bulan Oktober 1992 sampai sekarang, sehingga bisa mencakup kejadian El Nino 1992-1993 untuk dianalisa pengaruhnya terhadap perubahan ketinggian permukaan laut, terutama di lautan Pasifik.

Sedangkan untuk data angin diperoleh dari radar scatterometer (sederetan antena untuk mengirim sinyal radar) yang dipasang di satelit milik Eropa (ERS-1 dan ERS-2). Tahun lalu NASA (lembaga antariksa Amerika Serikat) memasang radar scatterometer dengan akurasi yang lebih baik di satelit milik Jepang bernama ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite) untuk mengukur arah dan kecepatan angin. Dari kedua satelit ini ditambahkan data dari pengukuran lapangan melalui buoy yang dipasang di Lautan Pasifik dan model numerik gabungan atmosfir dan laut, akhir bulan Mei lalu NOAA (lembaga kelautan Amerika Serikat) dan NASA, mengumumkan bahwa tahun ini kemungkinan besar akan menjadi tahun El Nino.

Tanda-tandanya

Kata El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang berarti anak laki-laki. Kata ini sudah dikenal sejak satu abad yang lalu oleh para nelayan di Ekuador dan Peru, Amerika selatan. Dalam kondisi cuaca normal, di pantai Peru terjadi upwelling (massa air laut dari bawah naik kepermukaan laut) membawa air dingin yang kaya akan nutrisi ke atas, sehingga daerah ini terkenal sebagai daerah penangkapan ikan terbesar di dunia.

Akan tetapi kadang-kadang sekitar bulan Desember yang biasanya banyak ikan justru tidak ada ikan sama sekali. Hal ini terjadi karena arus panas dari ekuator mempengaruhi sistim upwelling di daerah ini, air yang terbawa ke atas bukan air dingin yang kaya nutrisi akan tetapi air hangat dengan kandungan nutrisi yang rendah. Oleh karenanya ini merupakan musim paceklik bagi nelayan Peru dan Ekuador.

Pada tahun 1924 Sir Gilbert Walker berhipotesa bahwa El Nino ada hubungan langsung dengan tekanan udara di wilayah Indonesia (bagian barat lautan Pasifik) dan bagian timur lautan Pasifik, dengan memperkenalkan sistim indeks SOI (Southern Oscillation Index). Indek bernilai positif jika perbedaan tekanan udara antara Indonesia dan bagian timur lautan Pasifik lebih tinggi dari cuaca kondisi normal dan sebaliknya.

Dalam cuaca kondisi normal perbedaan tekanan ini menyebabkan adanya angin timur (easterly trade winds) sepanjang ekuator di Lautan Pasifik yang membawa massa air panas ke barat menumpuk di sekitar Kepulauan Halmahera setinggi sekitar 40 centimeter. Hal ini menyebabkan pendalaman thermocline (kedalaman laut di mana temperatur air laut 20 derajat celcius) di daerah ini menjadi sekitar 200 meter. Sementara itu di bagian timur Lautan Pasifik (pantai barat Amerika Selatan) kedalaman thermocline cukup dangkal sekitar 50-60 meter. Di daerah ini, angin timur menyebabkan upwelling yang membawa air dingin kaya akan nutrisi kepermukaan laut, sehingga pantai barat Amerika Serikat merupakan daerah kaya ikan. Sementara itu di wilayah Indonesia, angin timur bertemu dengan angin barat (westerly winds) yang menyebabkan udara naik ke atas dan banyak turun hujan. Biasanya kita mengalami musim hujan. Se-baliknya di bagian tengah dan timur Lautan Pasifik mengalami musim kemarau.

Pada waktu El Nino, perbedaan tekanan udara antara Indonesia dan bagian timur Lautan Pasifik sangat rendah sehingga hampir tidak ada angin timur. Oleh karenanya massa air panas yang tertumpuk di sekitar kepulauan Halmahera (bagian barat Lautan Pasifik) yang biasa disebut Western Pacific Warm Pool mengalir kembali ke timur. Bersamaan dengan itu gelombang panjang di sepanjang ekuator Lautan Pasifik yang disebut Equatorial Kelvin waves bergerak ke timur membawa massa air panas ke pantai barat Amerika Selatan yang mengakibatkan pendalaman thermocline di daerah ini. Perpindahan massa air panas ini mengakibatkan pergeseran lokasi pembentukan awan, sehingga mempengaruhi sistim cuaca di seluruh dunia. Contohnya, upwelling yang terjadi di pantai Amerika Selatan bukannya membawa massa air dingin dengan kandungan nutrisi yang besar ke atas, akan tetapi mengangkat air hangat yang kandungan nutrisinya rendah. Hal ini berarti musim paceklik bagi nelayan daerah tersebut.

Hasil analisa data perubahan ketinggian permukaan laut di Lautan Pacific dari satelit Topex/Poseidon Altimeter menunjukkan bahwa gelombang panjang Equatorial Kelvin waves mulai merambat ke timur sejak Maret 1997, sedangkan hasil analisa data angin dari radar scatterometer satelit ADEOS menunjukkan bahwa angin timur (easterly trade winds) mulai melemah, bahkan berbalik arah pada bulan Desember 1996 dan Pebruari 1997, dan konveksi yang biasanya terjadi di wilayah Indonesia mulai bergeser ke arah timur.

Selain itu NOAA juga menggunakan model numerik gabungan antara atmosfir dan laut untuk meramal kemungkinan akan terjadinya El Nino tahun ini. Tahun-tahun El Nino yang selama ini dikenal adalah 1953, 1957-1958, 1965, 1972-1973, 1976-1977, 1982-1983, 1986-1987, 1992-1993. Kondisi kebalikan dari El Nino disebut La Nina. Berarti kalau pada saat El Nino di suatu daerah terjadi kemarau panjang, maka kebalikannya, di daerah itu akan terjadi banjir besar pada waktu La Nina.

Kemarau panjang

Biasanya pada bulan Oktober sampai dengan bulan April, kita mengalami musim hujan. Akan tetapi kalau ramalan para ahli dari NOAA dan NASA benar bahwa tahun ini adalah tahun El Nino, maka kita akan mengalami kemarau yang cukup panjang. Hal ini tentu akan membawa dampak yang cukup besar buat kita, terutama para petani yang bergantung pada curah hujan.

Karena El Nino juga mempengaruhi sistem cuaca dan sirkulasi air laut, maka kemungkinan besar daerah-daerah upwelling yang biasanya kaya akan ikan akan bergeser lokasinya. Oleh karena itu para nelayan juga akan terkena akibat kejadian ini. Selain itu, dengan terjadinya kemarau panjang juga akan mengakibatkan riskannya kejadian kebakaran hutan. Ada baiknya, kita semua memang mengantisipasi gejala alam tersebut dengan melakukan persiapan dini.

(* Dwi Susanto, peneliti di PKA-BPPT Jakarta).